Twitter? Hampir semua orang di Indonesia punya akun twitter. Ada dua buah twit dari seorang teman yang berisi sindirannya terhadap pengguna twitter yang mungkin menurut dia kurang kompeten untuk berbicara soal politik. Kira-kira begini isi twitnya:
"jd filsuf dan politikus instan dgn nulis kalimat memukau itu gampang ye kalo ditwitter dibanding bkn essay nyata yg sumbernya valid hahaha"
"kalo tiap twit "bermutu" di twitter masuk ke nilai keaktifan di SAP maybe nilainya pada A"
Di posting Keadilan Untuk Apriliani, saya pernah membahas secara parsial tentang pengalihan fungsi twitter. Yap, kali ini ngga jauh beda. Dengan twitter siapapun bisa jadi politikus. Hal itulah yang saya dapat saya simpulkan dari twit-twit teman saya (kebetulan sudah saya tanyakan langsung kepada teman saya itu). Ia berpendapat bahwa semudah itu orang-orang menjadi politikus dengan bermodal akun twitter dan pendapat yang dikemas dengan kalimat yang bernada politis.
Saya jadi teringat ketika ada sebuah diskusi umum yang dibuat oleh perkumpulan mahasiswa Indonesia di kampus saya tentang kenaikan BBM. Diskusi ini dipanaskan oleh argumen pro dan kontra yang semuanya memang masuk di akal. Perbedaannya hanya pada moralitas empati yang disematkan di setiap argumen. Antara empati kepada lingkungan, empati kepada APBN (yang ini persetan hoaxnya) dan empati kepada rakyat (umumnya para aliran kiri dan pengagung Marhaen). Kebetulan diskusi ini dihadiri seorang guru besar ilmu politik. Ketika si X menjabarkan perlunya BBM naik karena APBN (lebih tepatnya membacakan ulang kalimat demi kalimat Hatta Rajasa), guru besar tersebut hanya merespon "oh bicara mu hebat sekali ya. Masih mahasiswa tetapi sudah menjelma menjadi politikus rupanya. Hebat ya mahasiswa sekarang tanpa membaca banyak buku politik udah bisa jadi politikus heheh?".
Nah, rasanya cerita tadi bisa sedikit disamakan dengan twit "bermutu" dari user yang menggunakan ilmu sotoy (sok tahu) menganalisis tanpa mempunyai referensi atau pengetahuan yang mumpuni di bidang yang ia analisis. Kesimpulan sederhananya adalah twitter telah beralih fungsi menjadi micro essay. Siapapun mampu membuat essay tanpa perlu banyak membaca buku sebagai dasar teori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar