Rabu, 24 Oktober 2012

Saya sejenak berpikir ketika melihat foto-foto lama yang menampilkan muda-mudi. Saya perkirakan itu adalah teman-teman dari ayah saya. Semua masih muda. Masih menjadi pemuda. Mereka tidak berbeda dari saya. Penuh dengan semangat kepemudaan. Mempunyai jiwa dan hormon petualang yang tinggi. Ingin mencoba segala hal. Ingin membelot dari sistem. Ingin menguasi dunia.

They believe they're destined for great things, just like me, their eyes are full of hope, just like me. But when I listen real close, I can hear them whisper their legacy to me.

"Carpe..."

hear it?

"Carpe... carpe diem"

nah!

"Seize the day, make your lives extraordinary."

Yes, sir.
Saya termasuk yang mengamini bahwa kata adalah senjata yang efektif dalam kehidupan manusia modern. "No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world.". Setiap kata yang dihimpun untuk dituliskan mempunyai roh. Mereka bernyawa. Mereka berdansa dalam alunan ideologi yang dimiliki dan dipahami oleh penulisnya.

Maka dari itu, detik ini saya ingin menulis. Menulis bukan tentang romansa Karl Marx yang saya kagumi, bukan tentang pikiran picik saya yang hobi mengkritik, bukan juga tentang buku-buku yang saya baca. 

Pertama saya ingin menulis tentang kamu. Kamu dan aku sama-sama suka membaca. Kita sama-sama suka membaca. Aku membaca apa yang kamu baca, tapi kamu tidak suka dengan apa yang ku baca. Kamu suka bercerita tentang bayi kecil, keponakan kamu. Aku suka bercerita tentang orang tua bernama Marx. Kamu menulis tentang hal-hal yang menyenangkan. Yang bisa membuat tersenyum orang yang membacanya. Aku juga suka menulis. Namun apa yang aku tulis dapat membuat pembaca menaikkan satu alisnya ke atas.

Tapi kita tidak pernah mempermasalahkan semua itu.

Kedua, saya ingin menuliskan tentang anda. Anda sahabat terbaik saya. Anda tegas. Anda perempuan terkuat yang saya kenal selain ibu saya. Anda pribadi yang rumit namun sesederhana memahami alam. Anda meneguhkan diri saya. Saya selalu menangis kepada anda. Ketika saya menangis anda pasti akan mendengarkan dengan seksama. Kita selalu berpendapat bahwa kita dapat mengetahui keadaan satu sama lain tanpa kata yang dilontarkan. Menulis tentang anda bisa menghabiskan seumur hidup.

Kita akan selalu jago menebak keadaan satu sama lain bukan?

Ketiga teruntuk diri saya. Hiduplah seribu tahun lagi.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Pesta, Buku dan Cinta: Ada di Mananya Kehidupan Kampus?

Saya sering mendengar kalimat "pesta, buku dan cinta" yang digunakan untuk menggambarkan petualangan individu yang bernama mahasiswa.

Kata "buku" seolah mencitrakan seorang mahasiswa adalah akademisi yang membaca buku-buku warisan profesor. Kenyataannya buku itu tak ubahnya kitab suci. Hanya dipegang namun tidak dibaca hingga kesulitan datang.

Pesta? Pesta apa yang kalian harapkan? Pesta para sosialita kampus? Pesta diskusi? Pesta demokrasi? Atau pesta wisuda? Mungkin yang terakhir yang paling tepat.

Cinta? Pada Tuhan? Nyatanya makin banyak mahasiswa yang jauh dari Tuhan saat makin intim dengan science dan social science. Cinta pada negara? Kadang ingat. Soalnya sudah jarang upacara bendera. Mungkin cinta dengan lawan jenis. "Kapan menikah?"

Konklusinya?

:-)

Sabtu, 29 September 2012

Sudah Terlambat

Nyambung sama posting sebelumnya tentang kehilangan. Beberapa jam setelah ngepost tentang itu seorang kawan saya meninggal akibat serangan jantung mendadak. Adik almarhum berkata di jejaring sosialnya bahwa dia sudah terlambat untuk menyadari bahwa dia selalu ingin menunjukkan rasa sayang kepada kakaknya.

Gue jadi keinget sama nyokap. Betapa nakalnya gue dulu bahkan sampe akhir, gue melakukan kenakalan terbesar gue yang sampe sekarang gue sesalin. Gue selalu ngerasa kalo gue penyebab semuanya terjadi. Dan gue teringat sama mantan gue. Bukan keinget yang galau, tapi teringat penyesalan bahwa gue ngga pernah bahagiain dia (anggaplah begitu). Gue terlalu egois dengan selalu menegakkan prinsip gue. Gue kelewat tegas, gue jarang memanjakan dia, gue terlalu jarang membawa dia ke tempat-tempat yang dia inginkan, gue kelewat sibuk dengan pikiran-pikiran gue, gue terlalu pelit. Yang dimaksud pelit adalah hemat. Gimana ya, gue selalu punya pikiran bahwa jika ingin bersenang-senang gue harus melakukan dengan uang sendiri. Uang sendiri itu bukan hasil dari minta bokap tapi bener-bener gue dapet karena gue bekerja. Nah pemikiran gue yang seperti itu lah gue sering mempersulit jalan untuk bersenang-senang.

Gue juga kasar. Itu adalah hal yang paling gue sesalin. Ya sudah lah. Semua sudah terlambat. Yang penting, gue harus memperbaiki segala hal yang gue sesali dengan kamu. Ya, dengan dia yang sekarang mendampingi aku sekarang ini. Terima kasih atas kesempatan re-commitnya.

Jumat, 28 September 2012

Siap Kehilangan

Ini hidup. Apapun bisa terjadi. Yang paling sering terjadi adalah kehilangan. Orang terdekat lo sekarang ini bisa saja menghilang jadi partikel embun yang jatuh di daun pohon lain. Orang yang selalu menyediakan senyumnya buat lo, yang ,menyediakan waktunya untuk lo, yang memberi rasa cintanya dan yang menangis untuk lo bisa saja besok tidak akan bersama lo.

Ya Ayah, ya ibu, ya kakak, ya adik, ya sahabat, ya pacar, ya teman, ya diri sendiri, akan hilang pada waktunya.

Selasa, 25 September 2012

Tawuran Pelajar, Delinkuensi dan Hukuman Dalam Perspektif Sosial

Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa berdarah di daerah Bulungan, Jakarta Selatan. Seoarang siswa dari SMAN X bernama A terkena bacokan yang dilakukan oleh sekelompok siswa SMAN Y. Setelah dilarikan ke rumah sakit, A meninggal. Sebagai informasi awal yang sangat umum diketahui oleh masyarakat, SMAN X dan SMAN Y adalah sekolah yang secara kasarnya “langganan” tawuran dan selalu berkonflik.

Pertama, saya akan mencoba menguraikan sedikit apa yang saya ketahui tentang tawuran pelajar. Definisi tawuran menurut opini saya adalah suatu tindakan kolektif dari sekelompok pelajar yang bertujuan menyerang kelompok pelajar lain. Perlu saya jelaskan bahwa kelompok pelajar ini tidak selalu mengatasnamakan institusi sekolah. Bisa juga antar peer group yang berasal dari sekolah yang berbeda.

Tawuran adalah salah satu bentuk dari delinkuensi yang dilakukan pelajar. Jika menelaah kasus tawuran antara SMAN X dengan SMAN Y yang sudah berlangsung dari lama (bukan hanya 10 tahun terakhir saja), saya mengambil hipotesa sederhana bahwa tawuran sudah menjadi budaya yang diinisiasi secara turun-menurun. Nilai dan norma solid dalam peer culture di kedua sekolah tersebut sangat kuat. Sayangnya, dipahami secara salah oleh kedua belah pihak. Solidaritas yang mereka usung adalah solidaritas dalam melakukan kenakalan.

Respon masyarakat awam terhadap kenakalan anak seringkali membuat mereka makin terjebak dalam kenakalan. Saya banyak melihat mention di twitter dari penduduk dunia maya ke akun @cumadix yang memaki, mengutuk, memojokkan bahkan tragisnya banyak yang melabel. Hal ini mengingatkan saya akan bahayanya labeling. Teori labeling yang dicetuskan oleh Lemert memusatkan perhatian terhadap konsekuensi sosial-psikologi dari label yang dikenakan pada pelaku pelanggaran, terutama pada penghargaan terhadap identitas seseorang. Identitas siswa tukang tawuran dapat semakin mendorong siswa-siswa melakukan tawuran. Melalui perspektif simbolik interaksionis kita dapat melihat bahwa siswa-siswa tersebut berperilaku sesuai dengan definisi masyarakat terhadapnya. Mengapa saya mengambil hipotesa sempit ini? Karena dari dulu selalu ada stigma umum mengenai kedua SMA tersebut, bahwa SMA tersebut adalah biangnya tawuran.

Untuk penjelasan selanjutnya, saya mengambil pokok pikian dari teori Durkheim mengenai social facts. Social facts  adalah sesuatu yang berada di luar diri seseorang dan memaksa seseorang tersebut. Fakta social dapat berupa nilai, norma dan aturan. Nah nilai, norma dan aturan yang mendarah daging di kedua SMA tersebut memang sangat akrab dengan kata tawuran. Jadi, jika ada siswa baru yang masuk ke salah satu dari SMA tersbut, dia akan berhadapan dengan fakta sosial berupa nilai dan norma tawuran yang diinisiasikan dari generasi ke generasi. Selain itu, dia juga akan berhadapan dengan aturan mengenai kesolidan terhadap sekolah. Dengan mengusung solidaritas, tawuran seolah menjadi aturan yang legal di kedua sekolah tersebut (meski secara aturan resmi sekolah dilarang).

Tawuran yang terjadi merupakan bukti gagalnya institusi pendidikan. Dalam UU No.23 Tahun 2002, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Usia anak sangat mudah dibentuk oleh budaya dan pola sosialisasi yang minim dalam moral. Bagi saya, kekerasan adalah praktek dan diskursus yg dikonstruksi secara sosial, bukan watak asli seseorang, apalagi siswa.

Ada hal menarik yang saya cermati tentang terjadinya tawuran. Selain dari penjelasan-penjelasan yang sebelumnya saya paparkan. Saya mempunyai prediksi akan adanya keinginan untuk meraih status dalam lingkungan peer group agar diakui dalam pergaulan dengan cara melakukan tawuran. Semoga saja prediksi saya yang satu ini tidak sepenuhnya benar. Akan sangat memprihatinkan jika memang meraih status dalam pergaulan dilakukan dengan cara seperti ini.

Lalu apa hukuman yang pantas untuk pelaku penusukan? Kembalikan pada orang tua untuk dididik atau direhabilitsi. Loh kenapa? Kan membunuh adalah salah satu tindakan yang dapat dipidanakan? Jawabannya hanya satu, bahwa penjara bukanlah tempat yang baik untuk tumbuh kembang anak.


Minggu, 23 September 2012

Fido

Sekitar dua minggu lalu Fido, adik saya yang masih TK memberitahu bahwa temannya akan berulang tahun. Dia menguatarakan keinginannya untuk membeli kado berupa mainan untuk temannya tersebut. Entah kenapa saya mengusulkan agar ia menabung selama dua minggu agar bisa membeli kado tersebut. Awalnya saya menyangka adik saya yang manja ini akan menolak dan merengek seperti biasanya agar keinginannya membeli kado segera terpenuhi. Namun siapa sangka jika ternyata adik saya menyetujui usul ini.

Jadilah dia memulai program menabungnya. Ya namanya juga anak kecil, masih saja merengek untuk dibelikan celengan kaleng dengan gambar kartun kesukaannya. Demi melihat adik saya mampu menjadi lebih dewasa dan terbiasa menabung, sepulang dari rumah sakit saya membelikan Fido celengan.

Dalam dua minggu itu ada saja godaan buat Fido. Mulai dari mau jajan sampe mau beli trading card game. Hingga akhirnya........JENG JEEENG uang Fido udah cukup banyak untuk membeli kado! Dengan bangga saya mengantar Fido ke toko mainan. Nah, di toko mainan ada kejadian lucu. Fido tergoda beli mainan tapi untuk dirinya sendiri. Disini dia mulai bimbang mau belanjain uangnya untuk kado teman atau untuk diri sendiri. Saya bilang sama dia kalo udah niat ngasih ngga boleh dibatalin. Akhirnya, dengan muka sedih Fido menaruh kembali mainan yang dia inginkan dan membayar ke kasir mainan untuk kado temannya.

Jujur, di situ saya sangat bangga dengan Fido. Diumur yang semuda itu dia bisa memilih dan belajar ikhlas :)

He is my precious lil'bro.