Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa berdarah di daerah Bulungan,
Jakarta Selatan. Seoarang siswa dari SMAN X bernama A terkena bacokan yang
dilakukan oleh sekelompok siswa SMAN Y. Setelah dilarikan ke rumah sakit, A
meninggal. Sebagai informasi awal yang sangat umum diketahui oleh masyarakat,
SMAN X dan SMAN Y adalah sekolah yang secara kasarnya “langganan” tawuran dan
selalu berkonflik.
Pertama, saya akan mencoba menguraikan sedikit apa yang saya
ketahui tentang tawuran pelajar. Definisi tawuran menurut opini saya adalah
suatu tindakan kolektif dari sekelompok pelajar yang bertujuan menyerang
kelompok pelajar lain. Perlu saya jelaskan bahwa kelompok pelajar ini tidak
selalu mengatasnamakan institusi sekolah. Bisa juga antar peer group yang berasal dari sekolah yang
berbeda.
Tawuran adalah salah satu bentuk dari delinkuensi yang dilakukan
pelajar. Jika menelaah kasus tawuran antara SMAN X dengan SMAN Y yang sudah
berlangsung dari lama (bukan hanya 10 tahun terakhir saja), saya mengambil
hipotesa sederhana bahwa tawuran sudah menjadi budaya yang diinisiasi secara
turun-menurun. Nilai dan norma solid dalam peer culture di kedua sekolah
tersebut sangat kuat. Sayangnya, dipahami secara salah oleh kedua belah pihak.
Solidaritas yang mereka usung adalah solidaritas dalam melakukan kenakalan.
Respon masyarakat awam terhadap kenakalan anak seringkali membuat
mereka makin terjebak dalam kenakalan. Saya banyak melihat mention di twitter dari penduduk dunia maya ke akun @cumadix yang
memaki, mengutuk, memojokkan bahkan tragisnya banyak yang melabel. Hal ini
mengingatkan saya akan bahayanya labeling. Teori labeling yang
dicetuskan oleh Lemert memusatkan perhatian terhadap konsekuensi
sosial-psikologi dari label yang dikenakan pada pelaku pelanggaran, terutama
pada penghargaan terhadap identitas seseorang. Identitas siswa tukang tawuran
dapat semakin mendorong siswa-siswa melakukan tawuran. Melalui perspektif
simbolik interaksionis kita dapat melihat bahwa siswa-siswa tersebut
berperilaku sesuai dengan definisi masyarakat terhadapnya. Mengapa saya mengambil hipotesa sempit ini? Karena dari
dulu selalu ada stigma umum mengenai kedua SMA tersebut,
bahwa SMA tersebut adalah biangnya tawuran.
Untuk
penjelasan selanjutnya, saya mengambil pokok pikian dari teori Durkheim mengenai
social facts. Social facts adalah sesuatu
yang berada di luar diri seseorang dan memaksa seseorang tersebut. Fakta social
dapat berupa nilai, norma dan aturan. Nah nilai, norma dan aturan yang mendarah
daging di kedua SMA tersebut memang sangat akrab dengan kata tawuran. Jadi,
jika ada siswa baru yang masuk ke salah satu dari SMA tersbut, dia akan
berhadapan dengan fakta sosial berupa nilai dan norma tawuran yang
diinisiasikan dari generasi ke generasi. Selain itu, dia juga akan berhadapan
dengan aturan mengenai kesolidan terhadap sekolah. Dengan mengusung solidaritas,
tawuran seolah menjadi aturan yang legal
di kedua sekolah tersebut (meski secara aturan resmi sekolah dilarang).
Tawuran
yang terjadi merupakan bukti gagalnya institusi pendidikan. Dalam UU No.23
Tahun 2002, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke
bawah, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Usia anak sangat mudah
dibentuk oleh budaya dan pola sosialisasi yang minim dalam moral. Bagi saya,
kekerasan adalah praktek dan diskursus yg dikonstruksi secara sosial, bukan
watak asli seseorang, apalagi siswa.
Ada hal menarik yang saya cermati tentang
terjadinya tawuran. Selain dari penjelasan-penjelasan yang sebelumnya saya
paparkan. Saya mempunyai prediksi akan adanya keinginan untuk meraih status dalam
lingkungan peer group agar diakui
dalam pergaulan dengan cara melakukan tawuran. Semoga saja prediksi saya yang
satu ini tidak sepenuhnya benar. Akan sangat memprihatinkan jika memang meraih
status dalam pergaulan dilakukan dengan cara seperti ini.
Lalu
apa hukuman yang pantas untuk pelaku penusukan? Kembalikan pada orang tua untuk
dididik atau direhabilitsi. Loh kenapa? Kan membunuh adalah salah satu tindakan
yang dapat dipidanakan? Jawabannya hanya satu, bahwa penjara bukanlah tempat
yang baik untuk tumbuh kembang anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar