Selasa, 25 September 2012

Tawuran Pelajar, Delinkuensi dan Hukuman Dalam Perspektif Sosial

Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa berdarah di daerah Bulungan, Jakarta Selatan. Seoarang siswa dari SMAN X bernama A terkena bacokan yang dilakukan oleh sekelompok siswa SMAN Y. Setelah dilarikan ke rumah sakit, A meninggal. Sebagai informasi awal yang sangat umum diketahui oleh masyarakat, SMAN X dan SMAN Y adalah sekolah yang secara kasarnya “langganan” tawuran dan selalu berkonflik.

Pertama, saya akan mencoba menguraikan sedikit apa yang saya ketahui tentang tawuran pelajar. Definisi tawuran menurut opini saya adalah suatu tindakan kolektif dari sekelompok pelajar yang bertujuan menyerang kelompok pelajar lain. Perlu saya jelaskan bahwa kelompok pelajar ini tidak selalu mengatasnamakan institusi sekolah. Bisa juga antar peer group yang berasal dari sekolah yang berbeda.

Tawuran adalah salah satu bentuk dari delinkuensi yang dilakukan pelajar. Jika menelaah kasus tawuran antara SMAN X dengan SMAN Y yang sudah berlangsung dari lama (bukan hanya 10 tahun terakhir saja), saya mengambil hipotesa sederhana bahwa tawuran sudah menjadi budaya yang diinisiasi secara turun-menurun. Nilai dan norma solid dalam peer culture di kedua sekolah tersebut sangat kuat. Sayangnya, dipahami secara salah oleh kedua belah pihak. Solidaritas yang mereka usung adalah solidaritas dalam melakukan kenakalan.

Respon masyarakat awam terhadap kenakalan anak seringkali membuat mereka makin terjebak dalam kenakalan. Saya banyak melihat mention di twitter dari penduduk dunia maya ke akun @cumadix yang memaki, mengutuk, memojokkan bahkan tragisnya banyak yang melabel. Hal ini mengingatkan saya akan bahayanya labeling. Teori labeling yang dicetuskan oleh Lemert memusatkan perhatian terhadap konsekuensi sosial-psikologi dari label yang dikenakan pada pelaku pelanggaran, terutama pada penghargaan terhadap identitas seseorang. Identitas siswa tukang tawuran dapat semakin mendorong siswa-siswa melakukan tawuran. Melalui perspektif simbolik interaksionis kita dapat melihat bahwa siswa-siswa tersebut berperilaku sesuai dengan definisi masyarakat terhadapnya. Mengapa saya mengambil hipotesa sempit ini? Karena dari dulu selalu ada stigma umum mengenai kedua SMA tersebut, bahwa SMA tersebut adalah biangnya tawuran.

Untuk penjelasan selanjutnya, saya mengambil pokok pikian dari teori Durkheim mengenai social facts. Social facts  adalah sesuatu yang berada di luar diri seseorang dan memaksa seseorang tersebut. Fakta social dapat berupa nilai, norma dan aturan. Nah nilai, norma dan aturan yang mendarah daging di kedua SMA tersebut memang sangat akrab dengan kata tawuran. Jadi, jika ada siswa baru yang masuk ke salah satu dari SMA tersbut, dia akan berhadapan dengan fakta sosial berupa nilai dan norma tawuran yang diinisiasikan dari generasi ke generasi. Selain itu, dia juga akan berhadapan dengan aturan mengenai kesolidan terhadap sekolah. Dengan mengusung solidaritas, tawuran seolah menjadi aturan yang legal di kedua sekolah tersebut (meski secara aturan resmi sekolah dilarang).

Tawuran yang terjadi merupakan bukti gagalnya institusi pendidikan. Dalam UU No.23 Tahun 2002, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Usia anak sangat mudah dibentuk oleh budaya dan pola sosialisasi yang minim dalam moral. Bagi saya, kekerasan adalah praktek dan diskursus yg dikonstruksi secara sosial, bukan watak asli seseorang, apalagi siswa.

Ada hal menarik yang saya cermati tentang terjadinya tawuran. Selain dari penjelasan-penjelasan yang sebelumnya saya paparkan. Saya mempunyai prediksi akan adanya keinginan untuk meraih status dalam lingkungan peer group agar diakui dalam pergaulan dengan cara melakukan tawuran. Semoga saja prediksi saya yang satu ini tidak sepenuhnya benar. Akan sangat memprihatinkan jika memang meraih status dalam pergaulan dilakukan dengan cara seperti ini.

Lalu apa hukuman yang pantas untuk pelaku penusukan? Kembalikan pada orang tua untuk dididik atau direhabilitsi. Loh kenapa? Kan membunuh adalah salah satu tindakan yang dapat dipidanakan? Jawabannya hanya satu, bahwa penjara bukanlah tempat yang baik untuk tumbuh kembang anak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar